MAKALAH
“KELAINAN
RETROGRESIF”
Makalah Ini
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Patologi
Dosen Pengampu : dr. Onny Tjahjokusumo
Dosen Pengampu : dr. Onny Tjahjokusumo
OLEH :
Yunita Eka Wati (59/2420132327)
KELAS:
2 B
AKADEMI KEPERAWATAN
NOTOKUSUMO YOGYAKARTA
2014/2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah menuntun saya
sebagai penyusun untuk menyelesaikan tugas Patologi dalam pembuatan Makalah
Kelainan Retrogresif.
Tak
lupa saya ucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Orang
tua yang telah memberikan dorongan dan motivasi terhadap penyusun selama
pembuatan makalah ini
2. dr. Onny Tjahjokusumo,
selaku dosen yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam
pembuatan makalah ini
Saya sangat merasa bahwa makalah ini masih jauh dari yang
diharapkan untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
hasil yang lebih baik. Akhir kata mohon maaf apabila masih banyak kesalahan
baik dalam penyusunan maupun penulisan dalam makalah ini.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Yogyakarta, Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ..................................................................................................... i
Daftar
Isi .............................................................................................................. ii
BAB
I : PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan
....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat
.................................................................................................... 2
1.5 Sistematika
Penulisan ............................................................................... 2
BAB
II : PEMBAHASAN
2.1 Kelainan Retrogresif ............................................................................... 3
2.2 Yang Termasuk Kedalam Kelainan Retrogresif
..................................... 3
BAB
III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan
............................................................................................ 15
3.2 Saran
...................................................................................................... 15
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Patologi
merupakan ilmu pengetahuan tentang keadaan struktural dan fungsional yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Empat aspek dalam proses penyakit yang
membentuk inti patologi adalah (Robbins & Cotran, 2008) :
· Penyebab
penyakit (etiologi)
· Mekanisme
terjadinya penyakit (patogenesis)
· Perubahan
struktural yang ditimbulkan oleh penyakit di dalam sel dan jaringan (perubahan morfologi)
· Konsekuensi
fungsional perubahan morfologi tersebut (makna
klinis)
Sel normal memerlukan keseimbangan
antara kebutuhan fisiologik dan keterbatasan-keterbatasan struktural sel dan
kemampuan metabolik, hasilnya adalah hasil yang terusn seimbang atau
homeostasis. Keadaan fungsional sel dapat berubah ketika bereaksi terhadap
stress yang ringan untuk mempertahankan keadaan yang seimbang. Konsep keadaaan
normal bervariasi :
1. Setiap
orang berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan susunan genetik
2. Setiap
orang memiliki perbedaan dalam pengalaman hidup dan interaksinya dengan
lingkungan
3. Pada
tiap individu terdapat perbedaan parameter fisiologi karena adanya pengendalian
dalam fungsi mekanisme
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Kelainan
Retrogresif?
2. Apa
saja yang termasuk kedalam Kelainan Retrogresif itu?
1.3
Tujuan
1. Untuk
memenuhi tugas dari mata kuliah Patologi
2. Untuk
meningkatkan pengetahuan mahasiswa/i khususnya keperawatan tentang Kelainan
Retrogresif
1.4
Manfaat
1. Diharapkan
dapat menambah wawasan pembaca dalam sajian makalah yang dibuat
2. Diharapkan
mahasiswa/i dapat memahami tentang Kelainan Retrogresif
1.5
Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari bab I ;
pendahuluan, bab II ; pembahasan, dan bab III ; penutup, DAFTAR PUSTAKA.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 KELAINAN
RETROGRESIF
Kelainan retrogresif adalah proses
terjadinya kemunduran (degenerasi atau kembali ke arah yang kurang kompleks)
atau kemerosotan keadaan suatu sel, jaringan, organ, organisme, menuju keadaan
yang lebih primitif (menjadi lebih jelek dengan organisasi yang lebih rendah
tingkatannya), kehilangan kompleksitasnya termasuk metabolisme, deferensiasi
dan spesialisasinya.
Setiap sel melaksanakan kebutuhan fisiologik yang normal
yang disebut Homeostasis normal. Sel memiliki fungsi dan struktur yang
terbatas, dalam metabolisme, diferensiasi, dan fungsi lainnya karena pengaruh
dari sel-sel sekitarnya dan tersedianya bahan-bahan dasar metabolisme.
Sel
mendapatkan stimulus yang patologik, fisiologik dan morphologic. Bila stimulus
patologik diperbesar hingga melampaui adaptasi sel maka timbul jejas sel atau
sel yang sakit (cell injury) yang biasanya bersifat sementara (reversible).
Namun jika stimulus tetap atau bertambah besar, sel akan mengalami jejas yang
menetap (irreversible) yaitu sel yang mati atau nekrosis. Perubahan-perubahan
tersebut hanya mencerminkan adanya “cedera-cedera biomolekuler”, yang telah
berjalan lama dan baru kemudian dapat dilihat. Adaptasi, jejas dan nekrosis
dianggap sebagai suatu tahap gangguan progresif dari fungsi dan struktur normal
suatu sel. Kelainan retrogesif (regresif) adalah merupakan suatu proses
kemunduran.
2.2 YANG
TERMASUK KE DALAM KELAINAN RETROGRESIF
a. Atrofi
Atrofi adalah berkurangnya ukuran
suatu sel atau jaringan. Atrofi dapat menjadi suatu respons yang adaptif yang
timbul sewaktu terjadi penurunan beban kerja sel atau jaringan. Dengan
menurunnya beban kerja, maka kebutuhan akan oksigen dan gizi juga berkurang.
Hal ini menyebabkan sebagian besar struktur intrasel, termasuk mitokondria,
retikulum endoplasma, vesikel intrasel, dan protein kontraktil, menyusut.
Atrofi dapat terjadi akibat
sel/jaringan tidak digunakan misalnya, otot individu yang mengalami imobilisasi
atau pada keadaan tanpa berat (gravitasi nol). Atrofi juga dapat timbul sebagai
akibat penurunan rangsang hormon atau rangsang saraf terhadap sel atau
jaringan. Hal ini tampak pada payudara wanita pasca menopause atau atrofi pada otot
rangka setelah pemotongan korda spinalis. Atrofi lemak dan otot terjadi sebagai
respons terhadap defisiensi nutrisi dan dijumpai pada orang yang mengalami
malnutrisi atau kelaparan. Atrofi dapat juga terjadi akibat insufisiensi suplai
darah ke sel, sehingga pemberian zat gizi vital dan oksigen terhambat
(Elizabeth J. Corwin, 2009).
Atrofi dibedakan menjadi :
1. Atrofi fisiologik
Atrofi
fisiologik adalah atropi yang merupakan proses normal pada manusia. Beberapa
alat tubuh dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama masa perkembangan
kehidupan, dan jika alat tubuh tersebut tidak menghilang pada usia tertentu
malah dianggap patologik. Contoh : kelenjar thymus, ductus thyroglosus.
Misalnya pada atropi senilis, organ tubuh pada usia lanjut akan mengalami
pengecilan. Atrofi senilis juga dapat disebut atropi menyeluruh(general) karena
terjadi pada seluruh organ tubuh. Atrofi menyeluruh juga terjadi pada
keadaan kelaparan (Starvation).
Penyebab atropi senilis adalah :
1) Involusi akibat menghilangnya rangsang
tumbuh (growth stimuli),
2) Berkurangnya perbekalan darah akibat
arteriosklerosis
3) Berkurangnya rangsang endokrin
Vaskularisasi berkurang karena
arteriosklerosis akan menyebabkan kemunduran pada otak sehingga menimbulkan
kemunduran kejiwaan yang disebut demensia senilis. Begitu pula rangsang
endokrin yang berkurang pada masa menopause menyebabkan payudara menjadi kecil,
ovarium dan uterus menjadi tipis dan keriput.
Starvation atropi terjadi bila tubuh
tidak mendapat makanan untuk waktu yang lama misalnya pada yang tidak
mendapatkan asupan makanan seperti orang terdampar dilaut, padang pasir, atau
pada orang yang mengalami gangguan saluran pencernaan seperti pada striktura
oesofagus. Karena itu alat-alat tubuh tidak mendapat makanan cukup dan
mengecil.
2. Atrofi patologik
Atrofi patologik dapat dibagi
beberapa kelompok :
1) Atrofi disuse adalah atropi yang
terjadi pada organ yang tidak beraktifitas dalam jangka waktu lama.
2) Atrofi desakan terjadi pada suatu
organ tubuh yang terdesak dalam waktu lama.
3) Atrofi endokrin terjadi pada organ
tubuh yang aktivitasnya tergantung pada rangsang hormon tertentu.
4) Atrofi vaskuler terjadi pada organ
yang mengalami penurunan aliran darah hingga dibawah nilai krisis.
5) Atrofi payah (exhaustion atrophy)
terjadi karena kelenjar endokrin yang terus menghasilkan hormone yang
berlebihan akan mengalami atrofi payah.
6) Atrofi serosa dari lemak terjadi
pada malnutrisi berat atau pada kakheksia. Jaringan lemak yang mengalami atrofi
akan menjadi encer seperti air atau lender.
7) Atropi coklat juga memiliki hubungan
dengan malnutrisi berat atau kakheksia dan organ yang mengalami atrofi adalah
jantung dan hati.
b. Degenerasi
dan Infiltrasi
Degenerasi ialah perubahan-perubahan morfologik akibat
jejas-jejas yang non-fatal. Perubahan-perubahan tersebut masih dapat pulih
(reversible). Meskipun sebab yang menimbulkan perubahan tersebut sama, tetapi
apabila berjalan lama dan derajatnya berlebih akhirnya mengakibatkan kematian
sel atau yang disebut nekrosis. Jadi sebenarnya jejas sel (cellular injury) dan
kematian sel merupakan kerusakan sel yang berbeda dalam derajat kerusakannya.
Pada jejas sel yang berbentuk degenerasi masih dapat pulih, sedangkan pada
nekrosis tidak dapat pulih (irreversible).
Infiltrasi
terjadi akibat gangguan yang sifatnya sitemik dan kemudian mengenai sel-sel
yang semula sehat akibat adanya metabolit-metabolit yang menumpuk dalam jumlah
berlebihan. Karena itu perubahan yang awal adalah ditemukannya
metabolit-metabolit didalam sel. Benda-benda ini kemudian merusak struktur sel.
Jadi
degenerasi terjadi akibat jejas sel, kemudian baru timbul perubahan
metabolisme, sedangkan infiltrasi mencerminkan adanya perubahan metabolisme
yang diikuti oleh jejas seluler. Degenerasi dan infiltrasi dapat terjadi akibat
gangguan yang bersifat biokimiawi atau biomolekuler. Sebagai contoh degenerasi
dapat terjadi akibat anoxia. Infiltrasi dapat terjadi akibat penumpukan
glikogen didalam sel, karena itu disebut infiltrasi glikogen.
c. Gangguan
Metabolisme
Memang
setiap sel selalu terancam mengalami kerusakan, tetapi sel hidup mempunyai
kemampuan untuk coba menanggulanginya. Jejas ini kemudian mengakibatkan
gangguan dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak pada sel. Gangguan
metabolisme intraseluler ini akhirnya mengakibatkan perubahan pada
struktur sel.
d. Nekrosis
Kematian sel nekrotik, terjadi apabila
suatu rangsangan yang menyebabkan cedera pada sel terlalu kuat atau
berkepanjangan. Nekrosis sel dicirikan dengan adanya pembengkakan dan ruptur
organel internal yang kebanyakan mengenai mitokondria, dan jelasnya stimulasi
respons peradangan (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Nekrosis merupakan salah satu pola
dasar kematian sel. Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah
terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan
kerusakan organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar;
Cotran & Robbins, 2007).
Nekrosis adalah kematian sel dan
kematian jaringan pada tubuh yang hidup. Nekrosis dapat dikenali karena sel
atau jaringan menunjukkan perubahan-perubahan tertentu baik secara makroskopis
maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna
putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik seluruhnya
berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna hematoksillin, sering pucat
(Pringgoutomo, 2002).
Gambaran morfologik nekrosis merupakan
hasil dari digesti enzimatik dan denaturasi protein yang terjadi secara
bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim hidrolitik dapat berasal dari sel itu
sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom sel radang penginvasi
(heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Pada nekrosis, perubahan terutama
terletak pada inti. Memiliki tiga pola, yaitu (Lestari, 2011) :
1. Psikonosis
Yaitu
pengerutan inti, merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan eosinofil,
DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.
2. Karioreksis
Inti
terfragmentasi (terbagi atas fragmen-fragmen) yang piknotik.
3. Kariolisis
Pemudaran
kromatin basofil akibat aktivitas DNA-ase.
Macam-macam
nekrosis :
1. Nekrosis
koagulatif
Terjadi
akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel yang disebabkan oleh hambatan kerja
sebagian besar enzim. Enzim sitoplasmik hidrolitik juga dihambat sehingga tidak
terjadi penghancuran sel (proses autolisis minimal). Akibatnya struktur
jaringan yang mati masih dipertahankan, terutama pada tahap awal (Sarjadi,
2003).
Terjadi
pada nekrosis iskemik akibat putusnya perbekalan darah. Daerah yang terkena
menjadi padat, pucat dikelilingi oleh daerah yang hemoragik. Mikroskopik tampak
inti-inti yang piknotik. Sesudah beberapa hari sisa-sisa inti menghilang,
sitoplasma tampak berbutir, berwarna merah tua. Sampai beberapa minggu rangka
sel masih dapat dilihat (Pringgoutomo, 2002).
Contoh
utama pada nekrosis koagulatif adalah infark ginjal dengan keadaan sel yang
tidak berinti, terkoagulasi dan asidofilik menetap sampai beberapa minggu
(Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
2. Nekrosis
likuefaktif (colliquativa)
Perlunakan jaringan nekrotik disertai pencairan.
Pencairan jaringan terjadi akibat kerja enzim hidrolitik yang dilepas oleh sel
mati, seperti pada infark otak, atau akibat kerja lisosom dari sel radang
seperti pada abses (Sarjadi, 2003).
3. Nekrosis
kaseosa (sentral)
Bentuk campuran dari nekrosis koagulatif dan
likuefaktif, yang makroskopik teraba lunak kenyal seperti keju, maka dari itu
disebut nekrosis perkejuan. Infeksi bakteri tuberkulosis dapat menimbulkan
nekrosis jenis ini (Sarjadi, 2003). Gambaran makroskopis putih, seperti keju
didaerah nekrotik sentral. Gambaran makroskopis, jaringan nekrotik tersusun
atas debris granular amorf, tanpa struktur terlingkupi dalam cincin inflamasi
granulomatosa, arsitektur jaringan seluruhnya terobliterasi (tertutup) (Kumar;
Cotran & Robbins, 2007).
4. Nekrosis
lemak
Terjadi
dalam dua bentuk:
a. Nekrosis
lemak traumatik
Terjadi akibat trauma hebat pada daerah atau
jaringan yang banyak mengandung lemak (Sarjadi, 2003).
b. Nekrosis
lemak enzimatik
Merupakan komplikasi dari pankreatitis akut
hemorhagika, yang mengenai sel lemak di sekitar pankreas, omentum, sekitar
dinding rongga abdomen. Lipolisis disebabkan oleh kerja lypolitic dan
proteolytic pancreatic enzymes yang dilepas oleh sel pankreas yang rusak
(Sarjadi, 2003). Aktivasi enzim pankreatik mencairkan membran sel lemak dan
menghidrolisis ester trigliserida yang terkandung didalamnya. Asam lemak yang
dilepaskan bercampur dengan kalsium yang menghasilkan area putih seperti kapur
(mikroskopik) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
5. Nekrosis
fibrinoid
Nekrosis
ini terbatas pada pembuluh darah yang kecil, arteriol, dan glomeruli akibat
penyakit autoimun atau hipertensi maligna. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan
nekrosis dinding pembuluh darah sehingga plasma masuk ke dalam lapisan media.
Fibrin terdeposit disana. Pada pewarnaan hematoksilin eosin terlihat masa
homogen kemerahan (Sarjadi, 2003).
Penyebab
nekrosis :
Nekrosis dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut:
1. Iskemia
Terjadi akibat anoksia (hambatan total pasokan
oksigen) atau hipoksia seluler (kekurangan oksigen pada sel). Dapat disebabkan
oleh berbagai hal seperti berikut ini (Sarjadi, 2003):
a. Obstruksi
aliran darah
b. Anemia
(eritrosit pembawa oksigen berkurang jumlahnya)
c. Keracunan
karbon monoksida
d. Penurunan
perfusi jaringan dari darah yang kaya oksigen
e. Oksigenasi
darah yang buruk, sebagai akibat penyakit paru, obstruksi saluran nafas,
konsentrasi oksigen udara yang rendah
2. Agen
biologik
Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding
pembuluh darah dan trombosis. Toksin biasanya berasal dari bakteri yang
virulensinya tinggi baik endogen maupun eksogen. Virus dan parasit juga dapat
mengeluarkan beberapa enzim dan toksin yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi jaringan dan menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
3. Agen
kimia
Natrium dan glukosa merupakan zat kimia yang berada
dalam tubuh. Namun ketika konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis
akibat gangguan keseimbangan osmotik sel. Beberapa zat tertentu dapat pula
menimbulkan nekrosis ketika konsentrasinya rendah (Pringgoutomo, 2002).
Respon jaringan terhadap zat kimia berbeda.
Misalnya, sel epitel pada tubulus ginjal dan sel beta pada pulau Langerhans
mudah rusak oleh alloxan. Gas yang digunakan pada perang seperti mustard dapat
merusak jaringan paru, gas kloroform dapat merusak parenkim hati serta masih
banyak lagi (Pringgoutomo, 2002).
4. Agen
fisik
Trauma, suhu yang ekstrim (panas maupun dingin),
tenaga listrik, cahaya matahari, dan radiasi dapat menimbulkan kerusakan inti
sehingga menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
5. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (kerentanan) pada seseorang
individu berbeda-beda. Kerentanan ini dapat timbul secara genetik maupun
didapat (acquired) dan menimbulkan
reaksi immunologik kemudian berakhir pada nekrosis. Sebagai contoh, seseorang
yang hipersensitivitas terhadap obat sulfat ketika mengonsumsi obat sulfat
dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal (Pringgoutomo, 2002).
e. Apoptosis
Apoptosis,
yaitu kematian sel yang diprogram. Apoptosis adalah suatu proses yang ditandai
dengan terjadinya urutan teratur tahap molekular yang menyebabkan disintegrasi
sel. Apoptosis tidak ditandai dengan adanya pembengkakan atau peradangan, namun
sel yang akan mati menyusut dengan sendirinya dan dimakan oleh sel
disebelahnya. Apoptosis berperan dalam menjaga jumlah sel relatif konstan dan
merupakan suatu mekanisme yang dapat mengeliminasi sel yang tidak diinginkan,
sel yang menua, sel berbahaya, atau sel pembawa transkripsi DNA yang salah.
Apoptosis merupakan proses aktif yang melibatkan kerja sel itu sendiri dan
namanya diambil dari kata Yunani yang berarti “menciut” seperti menguncupnya
sebuah bunga.
Timidin fosforilase (TP), suatu faktor
pertumbuhan sel endotel yang dihasilkan trombosit, telah terbukti melindungi
sel dari apoptosis dengan merangsang metabolisme nukleosida dan angiogenesis.
Penggunaan obat yang secara khusus menargetkan TP telah direkomendasikan untuk
memperbaiki efek kemoterapi konvensional dengan meningkatkan apoptosis sel-sel
yang bermutasi (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Penyebab Apoptosis :
Kematian sel terprogram di mulai
selama embriogenesis dan terus berlanjut sepanjang waktu hidup organisme.
Rangsang yang menimbulkan apoptosis meliputi isyarat hormon, rangsangan
antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang mengidentifikasi sel yang menua
atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan seringkali menyebabkan
apoptosis, yang akhirnya yang mengakibatkan kematian virus dan sel penjamu
(host). Hal ini merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup
untuk melawan infeksi virus. Virus tertentu (misalnya; Virus EpsteinBarr yang
bertanggung jawab terhadap monunukleosis) pada gilirannya menghasilkan protein
khusus yang menginaktifkan respons apoptosis. Defisiensi apoptosis telah
berpengaruh pada perkembangan kanker dan penyakit neuro degeneratif dengan
penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit Alzheimer dan sklerosis
lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis yang dirangsang-antigen
dari sel imun (sel T dan sel B) sangat penting dalam menimbulkan dan
mempertahankan toleransi diri imun (Elizabeth J. Corwin, 2009).
f. Postmortal
Kematian bukanlah akhir dari proses
dalam tubuh yang mengalami kematian.Tubuh akan terus mengalami perubahan.
Perubahan ini dipengaruhi oleh :
1.
Suhu
lingkungan sekitarnya
2.
Suhu
tubuh saat terjadi kematian
3.
Ada
tidaknya infeksi umum
Serangkaian perubahan yang terjadi
setelah kematian tubuh antara lain :
1. Autolisis ; jaringan yang mati
dihancurkan oleh enzim-enzim antara lain enzim dari lisosom, mikroorganisme
yang mengifeksi jaringan mati. Tubuh yang mati akan mencair, kecuali jika
dicegah dengan pengawetan atau pendinginan.
2. Algor Mortis ; suhu tubuh menjadi
dingin sesuai suhu lingkungan memerlukan waktu 24 s/d 48 jam untuk menjadi
dingin sesuai suhu lingkungan. Suhu tubuh menjadi dingin karena proses metabolisme
terhenti. Jika ditempat yang dingin maka akan lebih cepat dingin, tetapi jika
ditempat yang panas akan lebih lambat.
3. Rigor Mortis (kaku mayat); timbul
setelah 2 s/d 4 jam setelah kematian. Mencapai puncak setelah 48 jam dan
kemudian menghilang selama 3 sampai 4 hari.
4. Livor Mortis (lebam mayat) ; Nampak
setelah 30 menit kematian dan mencapai puncaknya setelah 6 hingga 10 jam.Lebam
mayat timbul pada bagian bawah tubuh.
5. Pembekuan Darah postmortal ; beku
darah post mortal berkonsistensi lunak, elastic dan seperti gel, berbeda dengan
thrombus yang konsistensinya keras dan kering.
6. Jejas postmortal ; enzim dalam tubuh
masih aktif untuk beberapa waktu setelah kematian. Jejas postmortal tidak
dijumpai reaksi radang pada jejas, sedangkan pada lesi antemortal Nampak reaksi
radang.
7. Pembusukan ; hancurnya tubuh yang
mati karena invasi bakteri. Kulit menjadi kehijauan setelah 1 sampai 2 minggu.
g. Penimbunan Pigmen
Pigmen
adalah substansi yang mempunyai warna dan terakumulasi di dalam sel. Pigmen
sering digambarkan berdasarkan sumber atau asalnya: eksogen (berasal dari luar
tubuh) atau endogen (dihasilkan di dalam tubuh). Pigmen eksogen paling umum
berasal dari inhalasi partikel karbon organik. Partikel ini terakumulasi di
dalam makrofag dan limfonodus jaringan paru, yang menghasilkan penampilan
kehitaman pada paru yang disebut anthracosis.
Pigmentasi
disebabkan penimbunan pigmen di dalam sel. Pigmentasi
lipofuscin pada kulit umum terjadi pada lansia. Juga pada otak, hati,
jantung, dan ovarium. Pigmen ini agaknya tidak mengganggu fungsi. Pigmen melanin dihasilkan melanosit
kulit. Pada penyakit Addison tredapat hiperpigmentasi kulit. Pada lansia,
melanosit berkurang, sehingga kulit pada orang ini tampak lebih pucat. Pigmen hemosiderin, turunan hemoglobin,
adalah pigmen yang dibentuk karena akumulasi timbunan besi yang berlebihan.
Dalam organ disebut hemosiderosis. Umumnya tidak sampai mengganggu fungsi (Jan
Tambayong, 2000).
h. Mineral
Selain zat karbon, hydrogen,
nitrogen dan oksigen yang merupakan bagian terpenting dalam jaringan pada tubuh
terdapat 13 macam unsur lain yang juga sangat penting dalam kehidupan manusia,
7 diantaranya terdapat dalam jumlah banyak yaitu kalsium, fosfor, magnesium,
natrium, kalium, chlor, dan sulfur. Sedangkan 6 lainnya merupakan ‘trace
elements” tetapi vital yaitu besi, tembaga, mangan, yodium, kobal (Co), dan
seng (Zn). Dalam makanan sehari-hari sudah cukup, tetapi pengeluaran berlebihan
(muntah, diare) atau gangguan penyerapan dapat menimbulkan defisiensi.
Sebaliknya
jumlah yang berlebihan dalam makanan atau gangguan ekskresi, menimbulkan
penimbunan yang berlebihan pada jaringan atau cairan tubuh dan dapat
menyebabkan gangguan metabolik, susunan kimiawi dan gejala klinik yang nyata.
i. Defisiensi
Ketidak seimbangan nutrisi merupakan
penyebab utama jejas sel antara lain defisiensi protein, vitamin dan mineral.
Jumlah lipid yang berlebihan merupakan faktor pendukung terjadinya
arteriosklerosis yang dapat menyebabkan sel/jaringan mengalami defisiensi
oksigen dan makanan. Jejas yang disebabkan oleh defisiensi nutrisi antara lain
Starvation, marasmus, kwashiorkor atau yang lebih dikenal gangguan nutrisi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelainan retrogresif adalah proses
terjadinya kemunduran (degenerasi atau kembali ke arah yang kurang kompleks)
atau kemerosotan keadaan suatu sel, jaringan, organ, organisme, menuju keadaan
yang lebih primitif (menjadi lebih jelek dengan organisasi yang lebih rendah
tingkatannya), kehilangan kompleksitasnya termasuk metabolisme, deferensiasi
dan spesialisasinya.
Yang
termasuk kedalam Kelainan Retrogresif, yaitu :
1. Atrofi
2. Degenerasi
dan Infiltrasi
3. Gangguan
Metabolisme
4. Nekrosis
5. Apoptosis
6. Postmortal
7. Penimbunan
pigmen
8. Mineral
9. Defisiensi
3.2 Saran
Dengan
adanya makalah ini diharapkan, pembaca dapat memahami penjelasan di dalamnya
sehingga dapat diterapkan, guna pemaksimalan pemahaman mengenai kelainan
retrogresif.
DAFTAR
PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L Robbins.
2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7,
Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lestari, Ajeng S.P. dan Agus Mulyono. 2011. Analisis Citra Ginjal untuk Identifikasi Sel
Psikonosis dan Sel Nekrosis. Jurnal Neutrino Vol.4, No.1, p:48-66.
Pringgoutomo, S.; S. Himawan; A. Tjarta. 2002. Buku Ajar Patologi I. Jakarta: Sagung
Seto.
Robbins & Cotran., 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit (ed.7). Mitchell, R.N.,
Kumar,V., Abbas, A.K., Fausto, N (editor). Jakarta: EGC.
Sarjadi. 2003. Patologi
Umum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
How To Play Baccarat - A Beginner's Guide
BalasHapusBaccarat is a popular choegocasino game that has been around since it was first youtube mp4 devised in China. The most popular variation is the simple bet. In fact, it's a 바카라